GRESIK, Gresikpos.com – Sebagai kota industri dengan dihuni banyak penduduk dari berbagai daerah, pasokan sampah di Kabupaten Gresik layak untuk bertambah. Produk sampah tidak bisa diwakilkan pada orang lain, karena setiap orang sudah tentu menghasilkan sampahnya sendiri-sendiri. Bahkan di dalam diri seseorang pun tak luput mereka mengeluarkan kotoran yang bisa dihitung berapa kali dikeluarkan.
Belum lagi sampah eksternal, tidak menutup kemungkinan, dengan budaya konsumtif masyarakat, sampah berpeluang besar volumenya terus meningkat. Di tahun 2019, menurut Kepala Bidang kebersihan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Gresik Muhammad Najikh mengatakan sampah domestik bisa mencapai 320 ton per hari.
Total itu bukan jumlah yang kecil. Artinya, produktivitas masyarakat karena dikepung industri, seakan-akan mereka terjebak dalam populisme budaya konsumtif. Gejala itu bisa merata dialami oleh semua masyarakat. Jumlah keseluruhan sampah per hari, sebagai Kepala Bidang Kebersihan di DLH, Najikh menjelaskan pengelolaannya masih belum maksimal.
“Yang bisa kami tangani sementara ini baru 42% cakupan layanan dari seluruh wilayah Kabupaten Gresik,” ungkapnya.
Untuk mencapai setengahnya pun dari DLH masih belum bisa. Hal itu membuktikan bahwa ada permasalahan yang tidak bisa diselesaikan secara signifikan. Perlu ada upaya cepat agar sampah setidaknya bisa ditertibkan dan tidak mengganggu kenyamanan masyarakat.
“Karena keterbatasan tenaga dan anggaran. Ada sebagian anggaran yang dialihkan ke penanganan Covid-19. Lalu sarana prasarana, seperti armada pengangkut masih terbatas,” jelas Najikh.
Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS) Gresik tahun 2020, jumlah TPS di Gresik dari total desa ada 356 dengan Tempat Pembuangan Sampah (TPS) hanya ada 124. Lagi-lagi untuk mencapai setengahnya saja tidak ada. Sedangkan kecamatan yang sama sekali tidak ada TPS, berada di Kecamatan Panceng, Sangkapura, dan Tambak.
“Untuk yang di Pulau Bawean, kami masih belum bisa menjangkau ke sana,” imbuhnya.
Selain anggaran dan Sumber Daya Manusia (SDM), permasalahan sampah juga dibarengi dengan ke asal-asalan masyarakat saat membuang sampah. Mereka tidak tahu mana sampah yang bisa dibuang dan mana sampah yang tidak bisa dibuang di TPS.
Di samping sampah rumah tangga dan usaha, di TPS juga kata Najikh masih ditemukan potongan-potongan kayu bekas tebangan. Seharusnya hal itu tidak boleh dibuang di TPS, supaya TPS bisa menampung sampah-sampah yang seharusnya dibuang di sana.
Sehingga pada saat ritasi atau pengangkutan sampah dari TPS ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA), sampah-sampah potongan kayu itu juga ikut diangkut. Kelemahannya adalah, ketersediaan armada pengangkut sampah dari dinas juga terbatas. Akhirnya, pengangkutan sampah tidak bisa maksimal.
Direktur Ecological Observation and Ecological Observation and Wetlands Conservation (ECOTON) Prigi Arisandi juga menjelaskan umur suatu TPA tidak bisa lama karena sampah setiap hari menumpuk. Ia juga memaparkan bahwa klasifikasi sampah itu ada tiga macam, yaitu 60% bisa dikomposkan, 25% bisa didaur ulang, dan 15% sisanya langsung disalurkan ke TPA.
“Jadi tidak semua sampah bisa dibuang ke TPA. Perlu ada pemilahan kembali dari awal,” jelasnya.
Kemudian jumlah TPS di Gresik juga masih belum maksimal, sehingga itu juga yang menyebabkan kurang efektif dalam pengelolaan. Prigi nama sapaannya menjelaskan, kalau ada pemilahan sampah di awal, maka yang perlu diperhatikan adalah usaha untuk membangun TPS di tiap desa, minimal berukuran 500 m2.
“Tujuannya agar sampah-sampah yang bermacam-macam jenisnya itu bisa dipilah, agar TPA tidak sampai membludak,” tandasnya.
–
Kontributor : Ahmad Baharuddin Surya
Editor : Agung Maps