GRESIK, Gresikpos.com – Organisasi yang bersifat kelembagaan itu bernama Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) yang masih dalam satu struktural dengan Nahdlatul Ulama’ (NU). Berdiri pada tahun 1954 yang dipelopori oleh KH. Achmad Syaichu dan KH. Idham Kholid. Secara gerak kerjanya, RMI NU diamanahi untuk mengkoordinir seluruh pondok pesantren yang masih berafiliasi dengan NU. Sehingga, dalam roda dakwahnya, NU tetap mengontrol dan membackup pondok pesantren yang senantiasa menyebarkan Islam Aswaja An-Nahdliyah.
Di setiap tingkat kepengurusan NU, dari cabang (kabupaten) sampai pengurus besar (pusat), RMI NU pasti ada dan selalu menjalankan tugasnya. Kalau untuk di Kabupaten Gresik, RMI NU diketuai oleh KH. Muhammad Alauddin atau kerap disapa dengan sebutan Gus Alauddin. Selain menjadi ketua, ia juga masuk di pengurus Yayasan Pondok Pesantren Qomaruddin Bungah Gresik.
Saat Gresik Pos coba menghubungi untuk bertemu, pihaknya mengonfirmasi jika ia bisa ditemui di Universitas Qomaruddin (UQ). Artinya, kesibukan lain selain di organisasi dan pondok, ia juga aktif mengajar di UQ. Figur Gus Alauddin ini secara tidak langsung adalah figur yang kompleks. Di mana pun ia aktif melibatkan dirinya, baik di pendidikan, organisasi, dan pondok.
Gus Alauddin juga membenarkan tentang amanah yang diberikan ke RMI NU itu. Menurut penjelasannya, sebagai ketua RMI NU ia diamanahi Pengurus Cabang (PCNU Gresik untuk mengkoordinir semua pondok pesantren yang ada di Gresik. Menurut data yang ia pegang, sementara ini ada sekitar 76 – 77 ponpes yang masih berafiliasi dengan NU.
“Itu masih belum semuanya. Di Kementerian Agama saja totalnya 160-an. Bahkan data yang masuk di kami ini masih belum semuanya. Masih ada yang belum masuk, karena di Gresik banyak juga pondok-pondok kecil,” jelasnya.
Karena rentan berhubungan dengn banyak ponpes, maka perkiraan orang yang masuk dalam kepengurusannya kebanyakan para Gus atau Kiai-kiai muda. Namun kata Gus Alauddin mengatakan, pengurus RMI NU Gresik cukup unik, karena yang masuk di dalamnya tidak selalu berlatar belakang dari pondok, justru mayoritas pengurusnya berasal dari berbagai macam latar belakang. Meskipun begitu, mereka mempunyai keahliannya masing-masing.
“Di kepengurusan RMI itu tidak semuanya Gus atau yang berlatar belakang pesantren. Yang dari pesantren mungkin 5 atau sekitar 6 orang, yang lainnya macam-macam. Ada yang dari ultras, dokter,” paparnya.
Ada untungnya juga ketika di kepengurusan anggotanya terdiri dari banyak macam keahlian.sebab program yang dibuat RMI juga bentuknya bisa bermacam-macam. Seperti Halnya di masa pandemi seperti ini. Berhubung ada tenaga ahli kesehatan yaitu dr. Heri Munajib, RMI bisa membuat program pelatihan pembuatan hand sanitizer di pondok pesantren.
Program tersebut sangat mendukung sekali di kala hand sanitizer masuk dalam alat untuk membersihkan virus di tangan. Apalagi di pesantren juga sering adanya kontak fisik, sehingga pembuatan hand sanitizer itu bisa sangat membantu untuk memutus rantai penyebaran covid-19 di klaster pondok pesantren di Gresik.
Selain pembuatan hand sanitizer, RMI juga membuat pelatihan untuk para pengurus di ponpes terkait dengan tata cara penanganan penyakit yang sering dialami oleh para santri. “Dengan itu mereka bisa paham bagaimana pencegahan dan cara mengobatinya,” jelasnya. Untuk memuluskan program itu, dr. Heri selaku komando program membuat Poskestren virtual. Gunanya ditujukan untuk para santri dengan pengawalan para pengurus yang sudah diberi pemahaman soal penanganannya bisa berkonsultasi langsung dengan dr. Herman.
Konsepnya sederhana, hanya melalui aplikasi whatsapp mereka bisa saling konsultasi tentang penyakit yang dideritanya. Tidak ada biaya sepeser pun saat konsultasi. Hanya saja, saat para pengurus memesan obat untuk santri, mereka bisa memesannya dalam jumlah banyak dan secara paketan. Hal itu dilakukan karena biasanya mereka memesannya barengan dengan santri lain.Jadi uangnya bisa diminimalisir dengan cara patungan.
“Waktu konsultasi itu, para santri disuruh bilang penyakit yang dideritanya. Nanti dokter memberi tahu obat apa yang cocok sesuai penyakitnya,” cerita Gus Alauddin.
Masa terakhir kepengurusannya di tahun 2021 ini, Gus Alauddin bercerita jika ingin segera mendata lengkap ponpes NU yang ada di Gresik. Selain itu RMI NU juga ingin membantu pondok-pondok yang belum mempunyai plakat identitas pondok. Ditambah lagi soal administrasi perizinan pondok yang ada di Kementerian Agama.
Usaha Pesantren Membangun Daerahnya
Jika melihat jumlah pondok pesantren yang ada di Gresik, rasa-rasanya sangat tidak memungkinkan kalau ponpes tidak turut andil terlibat dalam pembangunan. Keterlibatan itu bermacam-macam, bisa dari sumber daya santrinya atau keterlibatan ulama’ dalam merekomendasikan usul kebijakan demi kemajuan Gresik.
Mau tidak mau, ulama’ dan santri adalah dua komponen penting soal kemajuan Gresik. Seperti hal nya Gus Alauddin saat merepresentasikan sosok Sunan Giri dalam proses berdirinya Gresik. Bukan hanya Sunan Giri, ada juga Sunan Maulana Malik Ibrahim dan para ulama’ lain yang sezaman. Di perjuangan dakwah waktu itu, tentu mereka juga memikirkan tentang proses pembangunan Gresik.
Bahkan kata Gus Alauddin, Sunan Gresik waktu datang pertama kali ke Gresik juga mendirikan pesantren yang saat ini masih berbekas di situs Giri Kedaton. Di samping pesantren, di sana juga pusat kerajaan Giri Kedaton yang pernah berjaya di masanya. Atas historis itu, sebenarnya bisa dijadikan motivasi pembangunan oleh pemerintah tanpa melupakan peran santri dan para ulama’.
Saking hebatnya Sunan Giri, kata Gus Alauddin, banyak ulama’ jebolan dari pesantren Sunan Giri yang sudah menyebar ke mana-mana,utamanya ke pelosok negeri. Hal tersebut menyimbolkan bahwasanya Gresik tidak bisa diremehkan begitu saja. Ada nilai-nilai yang perlu digugah kembali, karena sampai sekarang sejarah itu tidak bisa lepas dari masyarakat Gresik.
Buktinya, dari banyaknya ponpes yang tersebar di Indonesia, di situ pasti dihuni anak-anak Gresik. Kejadian seperti itu Gus Alauddin sering menjumpainya. Ia pernah berkunjung ke salah satu pondok kecil di daerah Nganjuk, di sana ia menjumpai beberapa anak Gresik yang mondok di sana. Tidak terhitung besar kecilnya pondok, tapi kemauan belajar anak Gresik belajar agama sangatlah kuat.
Pondok pesantren sebenarnya menempati posisi strategis di suatu daerah. Ia sebagai penyeimbang dan landasan para generasi di daerah itu supaya memiliki moral dan akhlak yang baik. Apalagi jumlahnya tidak sedikit dan menyebar ke beberapa titik. Bagaimanapun, ketika pada suatu wilayah sudah dihuni pondok, secara tidak langsung pondok itu mengubah kebiasaan warga masyarakat sekitarnya.
Anak-anak yang awalnya cuma mengenyam pendidikan formal, dengan adanya pondok, mereka bisa menambah pendidikannya dengan ngaji di pesantren. Kemudian ulama’ pengasuh pondok dijadikan rujukan atau dijadikan figur yang dihormati, sehingga itu menjadikan rasa malu apabila warga sekitarnya berbuat tidak baik.
Maka dari itu Gus Alauddin mengatakan, adanya pondok pesantren adalah gunanya untuk membangun spirit spiritual, moral, dan kemandirian. Di samping pembangunan moral, peran pesantren sejak era dulu bisa dikatakan turut berkonstribusi dalam pembangunan fisik. “Sangat tidak mungkin seorang Sunan Giri hanya membangun lewat spiritual,” jelasnya. Buktinya sudah jelas ada. Contoh saja telaga peninggalan Sunan Giri, yaitu telaga pegat. Apakah Sunan Giri waktu itu hanya sekadar membuat? Tentu tidak, telaga pegat saat itu digunakan sebagai sumber mata air untuk membantu warga dan para santri Sunan Giri.
Kemudian jangan dikira itu tidak diteruskan di pondok pesantren. Sekarang, kata Gus Alauddin banyak pesantren yang berlomba-lomba meningkatkan sumber daya santri-santrinya. Mereka juga melek perkembangan zaman, di mana zaman akan terus berjalan menyesuaikan eranya. Apalagi di Gresik dihuni banyak perusahaan, maka pesantren juga berusaha menyesuaikan potensi santri agar kelak bisa bersaing di dunia luar.
Salah satu terobosan yang dilakukan pesantren adalah mendirikan sekolah kejuruan dan beberapa balai latihan kerja. Di sana santri akan digembleng sedemikian rupa untuk meningkatkan soft skill nya agar santri yang dari pondo tidak bisa direndahkan seenaknya.
“Sampai sekarang terus berlanjut. Kalau dilihat, banyak ponpes di Gresik ini sudah menyiapkan tenaga-tenaga yang mempunyai skill. Ada yang langsung mendirikan SMK, dan sudah hampir merata pondok di Gresik ini sudah ada BLK,” terang Gus Alauddin.
Ke depan nanti kalian akan melihat mereka para jebolan pesantren yang ahli di bidangnya masing-masing. Mereka siap disaingkan dengan anak-anak yang tidak dari pesantren. Gus Alauddin pernah ditemui pejabat penting perusahan, ia mengatakan pihak perusahaan sangat senang jika pekerjanya dari pesantren, karena mereka nurut dan mudah diatur. Justru, ketika mereka mayoritas petinggi perusahaan bilang begitu, artinya santri Gresik mempunyai identitas baik di mata mereka.
Kiranya perlu menjalin hubungan baik antara perusahaan dengan pihak ponpes. Itu bertujuan sebagai sarana untuk mendistribusikan santri ke perusahaan-perusahaan dengan persetujuan dan penandatanganan MoU sebagai legalitas kerja sama.
“Dengan itu, nanti dari perusahaan sendiri yang datang dan langsung melakukan tes ke para santri. Dan itu sangat sering dilakukan bilamana perusahaan yang membuka pendaftaran membutuhkan karyawan baru,” jelasnya.
Diperkuat lagi ketika ada kunjungan dari Presiden Jokowi ke proyek nasional JIIPE beberapa waktu lalu. Di saat yang bersamaan, Jokowi berharap daya serap tenaga kerja didominasi oleh para santri. Tetapi kata Gus Alauddin saat itu kurang efektif, lataran pengerjaan proyek dinilai juga sedikit lambat, kemudian kebanyak perusahaan juga sedikit menggunakan tenaga kerja manusia, semua dikendalikan oleh mesin.
Harapan Gus Alauddin selaku ketua RMI dan Pengurus Ponpes adalah semoga di kepengurusan baru ini pemerintah Gresik yang notabenenya dari lingkungan pesantren bisa lebih memerhatikan pesantren yang ada. Sebab selama ini pesantren tidak pernah jadi fokus utama, “fokus utama yang selama ini saya lihat cuma ada di sekolah formal atau negeri saja,” ungkapnya.
Metode Pesantren Menangkal Wacana Paham Radikalisme
Sangat banyak sekali peran strategis dan dominan dari pondok pesantren. Terkait maraknya narasi-narasi wacana radikalisme, pesantren juga turut mengawal perkembangannya. Gus Alauddin menegaskan, selama pesantren itu masih di dalam naungan NU, wacana radikalisme itu hanya bualan saja. Para santri kebanyakan sudah dibekali bagaimana menghadapi serta merespon isu-isu yang berkaitan dengan narasi Islam radikal.
“Kita sudah diberi materi dan pemahaman akidahnya dikuatkan. Jadi tidak hanya pemahaman fiqihnya saja.” Tandasnya.
Kata Gus Alauddin, di pesantren, santri diajarkan bagaimana menganalisis suatu isu radikalisme di Indonesia. Pikiran dan logika harus selalu terkoneksi dengan ajaran-ajaran yang ada di pondok. Sebab wacana radikalisme selalu menjadi wacana yang asik diperbincangkan. Belajarnya bukan hanya dari dalil-dalil saja tetapi harus dinalar sesuai apa tidak dengan logika.
Di setiap pesantren terkadang mempunyai metodenya masing-masing untuk menangkal radikalisme. Selain kitab yang dikaji sehari-hari, saat bulan ramadhan kata Gus Alauddin, kitab-kitab yang dibahas adalah seputar pendalaman keaswajaan, itu selalu diajarkan dan diulas berkali-kali. Diharapkan setelah selesai belajar kitab tersebut, akhlak santri bisa sesuai dengan akhlak Aswaja An-Nahdliyah.
Sama hal nya metode yang dilakukan di Ponpes Qomaruddin salah satunya, di sana ada kegiatan yang bernama pondok Aswaja. Standarnya dilakukan dua hari. Saat mengikuti itu, santri akan diajarkan ilmu-ilmu Aswaja yang dibagi jadi beberapa materi pendukung.
“Namun targetnya, santri bisa mandiri menganalisis dan menghadapi apabila sewaktu-waktu ada narasi radikalisme yang datang,” jelas Gus Alauddin
–
Kontributor : Ahmad Baharuddun Surya
Editor : Agung Maps