GRESIK, Gresikpos.com – Permasalahan yang menimpa petani, khususnya di Gresik seolah-olah terus-menerus dan kompleks. Yang paling parah terjadi di persoalan pupuk subsidi. Meskipun di media pemberitaan, dari pihak pemerintahan sampai produsen pupuk gembar-gembor bahwa alokasi pupuk akan cukup dan terpenuhi di setiap musim tanam, tetapi hasilnya bebeda, petani selalu mengeluh kekurangan.
Seperti data yang dikumpulkan Gresik Pos, petani bernama Mat Tini di Masangan Bungah mengatakan, ia sudah beberapa hari tanam padi, tetapi belum mendapatkan pupuk bersubsidi. Akibatnya, Mat Tini menyiasatinya dengan menggunakan petroganik dicampur dengan insektisida atau nemastisida. Tujuannya untuk membasmi hama pengganggu tanaman padi miliknya.
“Ini saya pakai pupuk organik dulu,” katanya kepada Gresik Pos saat di sela-sela memupuk padinya, Selasa (06/01/21).
Keluhan juga dirasakan oleh Solihin, sawah miliknya tidak cukup jika hanya diberi 2 karung pupuk subsidi yang ia dapat. Pada Gresik Pos ia menjelaskan jika ia hanya mendapat 2 paket urea dan phonska. Menurutnya itu tidak cukup, karena biasanya ia butuh 10 urea dan phonska.
Sekadar informasi tambahan, pada awal tahun kemarin, pupuk subsidi mengalami kenaikan. Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 49 tahun 2020 Tentang Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi (HET) Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian, per tanggal 30 Desember 2020 HET pupuk bersubsidi terdapat kenaikan. HET pupuk urea mengalami kenaikan Rp 450, dari sebelumnya Rp 1.800 per kilogram naik menjadi Rp 2.250 per kilogram atau Rp 112.500 per karung.
HET pupuk SP-36 naik Rp 400 per kilo gram, dari sebelumnya Rp 2.000 naik menjadi Rp 2.400 per kilogram atau Rp 120.000 per karung. HET pupuk ZA juga mengalami kenaikan Rp 300 per kilo gram, dari harga sebelumnya Rp 1.400 menjadi Rp 1.700 per kilogram atau Rp 85.000 per karung.
Demikian halnya dengan pupuk petroganik juga mengalami kenaikan Rp 300. HET sebelumnya Rp 500 per kilogram menjadi Rp 700 per kilogram atau Rp 32.000 per karung. Sedangkan HET pupuk NPK Phonska tidak mengalami kenaikan yaitu tetap Rp.115.000 per karungnya.
Dari kenaikan tersebut sebenarnya sudah banyak diketahui para petani. Mereka diinformasikan oleh ketua Kelompok Taninya masing-masing. Tetapi sebagai seorang petani, mereka tidak ada pilihan lain kecuali mau tidak mau ia haru beli, sebab pupuk bagi mereka merupakan kebutuhan primer.
Seperti halnya Solihin, ia hanya bisa pasrah dan berserah diri. “Mau bagaimana lagi, kalau sudah naik ya dibeli,” jelasnya. Ia juga mnambahkan apabila pupuk subsidi benar tidak tersedia, terpaksa ia akan menggunakan pupuk non subsidi, meskipun harganya mahal daripada pupuk subsidi.
Kasman di Gredek Duduksampeyan juga merasakan hal yang sama. Di sana kebanyakan petani sawah, tidak ada tambak. Jadi kalau berbicara soal penggunaan pupuk, di sana lebih rentan penggunaannya. Yang sering terjadi menurut Kasman, para petani di sana sebenarnya sudah tercukupi dengan pupuk subsidi, tetapi hanya di musim tanam pertama.
“Semuanya kebagian, tetapi waktu musim tanam kedua pupuk menjadi langkah,” jelasnya, (11/02/21).
Kasman juga bercerita bagaimana ketergantungan petani dengan pupuk. Tingkat ketergantungannya sangat pokok sekali. Mereka tidak bia lepas dari pupuk. Tanpa pupuk, mereka sama sekali tidak bisa menghasilkan apa-apa.
Di kepuhklagen Wringinanom contohnya, petani di sana keluhkan pembagian pupuk subsidi yang tidak merata. Menurut pengakuan Liwono, ada banyak persoalan yang dialami petani sana. Selain pupuk, mereka juga dihadapkan pada persoalan limbah yang mengganggu produktivitas petani. Terutama di Desa Kedunganyar, letaknya tidak jauh dengan Kepuhklagen.
“Kalau dampak yang saya alami bukan masalah dekat dengan area pabrik, hanya masalah di hama saja. Tetapi kalau di Kedunganyar, banyak perairan yang tersumbat gara-gara limbah pabrik,” jelasnya, (26/01/21).
Lanjut Liwono, permasalahan pupuk justru terjadi saat pembagiannya. Kabanyakan pembagian pupuk diatur oleh Ketua Kelompok Tani, tetapi di sana pembagian dikoordinir oleh ketua RT setempat. Hanya karena pembaian yang tidak kondusif, banyak petani yang kata Kaman tidak kebagian. Seharusnya di setiap pembagian, petani mendapatkan 1 karung pupuk UREA dan 1 karung pupuk ZA.
“Pengambilan pupuk subsidi di gudang Kelompok Tani. Tapi hanya kebagian pupuk UREA, kalau pupuk Zatidak pernah kebagian, soalnya setiap RT rebutan mengambil pupuk, jadi yang terakhir tidak kebagian,” ungkapnya.
Padahal, setap alokasi pupuk subsidi sudah disesuaikan dengan data petani dan jumlah luas lahannya. Itu masuk dalam Elektronik Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok Tani (eRDKK) yang disusun oleh kelompok tani (poktan). Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan besar adalah, kenapa setiap memasuki pendistribusian dan turun ke petani, pupuk subsidi selalu mengalai kekurangan.
Pupuk yang dibutuhkan Liwono dalam masa satu tanam untuk jenis ZA dan UREA masing-masing 1, sedangkan Phonska hanya setengah karung. Untuk mencukupi kebutuhan pupuk, Liwono terpaksa membeli pupuk non subsidi. Selisih harganya sangat jauh, hampir dua kali lipat dari subsidi. Seperti pupuk ZA subsidi harganya Rp80 ribu, tetapi jika non subsidi bisa mencapai Rp185 ribu.
Lain lagi di Driyorejo, petani bernama Mansur mengeluh karena setiap kali membeli kebutuhan tani, seperti pupuk, obat, dan kebutuhan lainnya harus keluar desa terlebih dahulu, karena di desanya, Wedoroanom tidak menyediakan berbagai macam kebutuhan untuk tani.
Minimnya ketersediaan pupuk di desa membuat Mansur harus mengeluarkan uang tambahan. Bagaimana lagi, sawah yang digarap sudah 20 tahun itu mau tidak mau menjadi komoditas utama di keluarganya.
“Saya menjadi petani sudah kurang lebih 20 tahun. Tidak ada pekerjaan lain selain itu. Untuk kebutuhan pupuk, sayabeli sendiri dengan harga normal. Biasanya beli di pasar. Dari desa tidak ada bantuan pupuk atauobat tanaman lebih. Jadi ya harus beli keluar,” cerita Mansur.
Profesi menjadi seorang petani memang jadi profesi tetap bagi Mansur. Tidak ada pekerjaan lain yang bisa diandalkan kecuali bertani. Itu satu-satunya pekerjaan yang bisa ia lakukan untuk keluarganya. Bahkan kebanyakan menurut cerita para petani, saat ini petani juga serba susah. Ibarat petani juga seperti pedagang. Ada modal dan untung. Namun kalau melihat kondisi petani seperti ini, keluhan mereka kabanyakan antara modal dan hasil masih belum sebanding.
Kondisi wilayah dan tekstur tanah membuat cerita para petani berbeda-beda. Tim Gresik Pos mendapati cerita yang berbeda dari ketua Kelompok Tani Banjarsari Manyar bernama Masluh. Di sana penggunaan pupuk tidak bisa digunakan secara langsung terus-terusan. Ada musimnya sendiri, karena penggunaan pupuk bergantung pada kondisi air saat itu.
Kata Masluh, saat musim kemarau, air di sana berubah jadi asin dan itu yang membuat penggunaan pupuk tidak terlalu banyak. Dari ketersediaan stok pupuk SP-36 8 ton, yang laku hanya separuhnya saja. Tetapi berbeda lagi ketika musim hujan datang. Air akan berubah jadi tawar. “Pada saat itu pupuk bisa habis, malah bisa juga kekurangan,” jelasnya. Datangnya air asin dimulai bulan 7 sampai bulan 11. Setelah bulan itu, musim berubah jadi penghujan dan air asin beubah jadi tawar.
Lanjut Masluh, pada saat air tawar, pupuk berpegaruh pada perkembangan ikan, sehingga ikan akan cepat besar. Bayangkan saja, apabila air tawar datang dan pupuk tidak ada, maka masa panen petani akan jadi lama. ”Kan seharusnya dengan adanya pupuk itu bisa mempercepat masa panen,” imbuhnya.
–
Kontributor : Ahmad Baharuddin Surya
Editor : Agung Maps