Gresik, Gresikpos.com – Keputusan akan melaksanakan Pilkada serentak 2020 di tengah wabah Pandemi Covid-19 mengangkat perdebatan di masyarakat, lebih-lebih pada kelompok ahli dan akademisi. Pilkada pada bulan Desember 2020 dianggap tidak logis sekaligus penuh dengan risiko-risiko, disebabkan masih tingginya kasus positif Covid-19 di Indonesia. Sedangkan, proyeksi dari para pakar belum bisa memberikan kepastian yang jelas kapan pandemi ini akan berakhir (Wardhana, 2020).
Semula pemungutan suara Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) akan diselenggarakan pada Mei 2020. Namun, pandemi Covid-19 yang sedang berlangsung membut Presiden Joko Widodo mengeluarkan perintah akan penundaan Pilkada hingga Desember 2020.
Perlu diketahui, pertama kali pilkada serentak dilangsungkan di Indoneisa pada tahun 2015. Komisi pemilihan Umum (KPU) mengeluarkan beberapa aturan yang di antaranya melarang para kandidat yang mantan narapidana kasus korupsi turut berkontestasi dalam pesta demokrasi.
Sepintas, berdasarkan pengalaman pemilu dan pilkada yang lalu, politik identitas sangat berasa mewarnai kontestasi antar calon yang sedang berebut suara rakyat. Fanatisme kelompok, ormas dan ulama atau tokoh masyarakat masih menjadi alat dalam kampanye dari masing-masing kandidat. Sementara pertimbangan rasional terhadap visi dan misi masing-masing calon kurang mendapat perhatian.
Pendek kata, fanatisme itu berdampak pada penolakan akan ide atau gagasan yang baru dari calon kandidat lain yang tidak memiliki patron atau pendukung fanatik. Akibatnya, fanatisme terhadap calon lain yang secara demonstratif menggunkan isu identitas mengenyampingkan gagasan-gagasan atau ide-ide dari masing-masing kontestan. Padahal pada visi dan misi tersebut sangat penting untuk melihat kesiapan dari para kontestan ketika terpilih nanti.
Dalam Pilkada yang diselenggarakan pada Desember 2020 esok, fanatisme dalam memilih pasangan salon yang turut berkontestasi layak dikesampingkan. Justru pertimbangan logis terhadap visi dan misi lah yang seharusnya dipertimbangkan. Artinya, pemilih di pilkada nanti diharapkan sudah bisa keluar dari politik identitas yang ditopang oleh fanatisme, baik yang menggunakan tendensi dogmatis atau kelompok mayoritas.
Dengan pertimbangan logis dalam pilkada, diharapkan masyarakat menyadari keputusan mereka dalam memilih calon pemimpin di daerah mereka masing-masing. Kemudian belajar dapat menerima konsekuensi (bertanggungjawab) dan konsisten pada pilihan. Sebab kalah atau menang, masyarakat pemilih yang rasional bisa membanggakan integritas mereka.
Memilih secara rasional dalam pilkada dapat dilakukan dengan mengobservasi lebih mendalam visi dan misi yang diusung dari para kandidat. Seberapa koheren gagasan-gagasan mereka dengan permasalahan-permasalahan sedang dihadapi daerah atau kota tersebut. Pemilih dapat menarik hipotesa yang sifatnya sementara, seperti kondisi infrastruktur, kebocoran anggaran, dan persoalan-persoalan lain yang urgen diselesaikan.
Karenanya, memulai membuang prasangka-prasangka politik dan memulai diskusi akan lebih bisa mematangkan iklim demokrasi di negara ini. Di sini, orang Batak dengan watak yang tegas dapat menginspirasi orang Solo yang halus dengan budaya Jawa-nya yang adi luhung. Inilah keuntungan dari dialog yang harus selalu dikedepankan, termasuk pada pilkada.
Dalam hal ini, fanatisme sebenarnya juga sedang mengancam pluralitas (kemajemukan) di Indonesia. Kian hari fanatisme menjelma ke bentuk yang mengerikan, di mana masyarakat seolah kapas yang terombang-ambing hembusan narasi identitas. Kadang dibawa ke Timur juga kadang ke Barat. Ketidakpedulian terhadap kemajemukan ini melahirkan individual-individual ekskulusif yang tidak dapat melebur ke dalam gelas kebinekaan.
Pada momen pilkada ini, penting menyadarkan publik agar meletakkan rasionalitas sebagai pertimbangan politik, bukan fanatisme. Di sini, masyarakat merupakan individu-individu bebas yang berani menentukan pilihan berdasarkan pertimbangan logis. Selain demi kepentingan terbangunnya demokrasi yang baik sehingga lahir pemimpin-pemimpin yang kompeten dan berintegritas, di samping itu juga pluralitas Indonesia dapat terus terjaga.
Lalu bagaimanakah pluralitas ini dapat lestari? Sebagai negara yang menerapkan demokrasi, maka negara ini harus memberi kebebasan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk menyampaikan pendapat. Bukan lalu membungkam mereka sebab khawatir tidak sanggup berlagak layakya negara yang sudah berusia (Irshad Manji, 2012).
Pluralitas identik dengan pluralisme yaitu paham yang tetap menjaga setiap keunikan budaya masing-masing dengan tetap menghargai adanya keberagaman dan perbedaan dalam masyarakat. Tetap tetap menjaga keunikan budaya masing-masing yang menjadi karakteristiknya. Di Islam, sikap toleransi terhadap kemajemukan ini dapat ditemukan dalam doktrin agar setiap muslim menghormati para pemeluk agama lain. Karenanya, toleransi itu absolut untuk dilangsungkan, sebagai bentuk penjagaan terhadap pluralitas.
Namun, ada hal yang perlu diperhatikan tentang pluralisme. Bahwa pluralisme bukan bentuk keyakinan bahwa semua ajaran agama adalah benar atau sama. Dengan tegas, tidak dibenarkan keyakinan bahwa Tuhan yang kita sembah (Islam) adalah Tuhan kalian pula. Majelis Ulama’ Indonesia (MUI) melontarkan fatwa terkait hal tersebut.
Dalam suatu fatwa MUI melarang paham pluralisme dalam Islam. Pluralisme dalam fatwa tersebut dijelaskan sebagai paham yang di mana kebenaran semua agama menjadi relatif, karena semua agama dianggapnya sama dan pluralisme sendiri mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan bersandingan di surga nantinya (Mhasbi.com).
Dengan demikian, pertimbangan rasional dalam pilkada 2020 sangat penting dikampanyekan. Bukan fanatisme yang mengarah pada politik identitas. Sebab, dengan semakin terbangunnya kesadaran publik untuk menggunakan pertimbangan logis maka terjadilah diskusi yang juga mengokohkan toleransi dalam kemajemukan.
Oleh : Syaichon Ibad