Sejak kemunculannya tahun 1998, Front Pembela Islam (FPI) menuai banyak polemik. Ada yang mendukung, ada juga yang berseberangan dengannya. Sikapnya yang oposisi kepada pemerintah, membuat orang-orang yang ada di dalam pemerintahan geram dengan aksi-aksi heroiknya.
Beberapa pihak ada yang mengatakan jika Pam Swakarsa merupakan cikal bakal berdirinya FPI. Namun Ketua Umum FPI Slamet Maarif sesuai yang dilansir detik (17/9/20) membantah akan hal itu. Ia mengatakan FPI tidak lahir dari Pam Swakarsa. FPI lahir pada 17 Agustus 1998 dari induk para ulama dan habaib untuk melawan kemaksiatan di Indonesia.
Organisasi yang dikomandoi Habib Rizeq Shihab ini sering melakukan aktivitas yang menuai banyak kontroversi. Bahkan tak jarang juga FPI sering ikut andil dalam dinamika perpolitikan Indonesia. Ditambah lagi dengan aksi-aksi demonstrasinya yang turut pula mengawal berbagai kebijakan yang akan atau sedang dijalankan pemerintah.
Tetapi tidak untuk sekarang. Riwayat perjalanan FPI secara nyata berhenti tepat pada Rabu (30/12/12). Keputusan itu disampaikan oleh Menko Polhukam Mahfud MD dalam konferensi pers di kantor Kemenko Polhukam. Pembubaran ini dilandasi atas Surat Keputusan Bersama (SKB) enam menteri atau kepala lembaga yang meliputi Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Komunikasi dan Informatika, Kapolri, Jaksa Agung, dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.
Sejak Menko Polhukan resmi mengumumkan pembubaran tersebut, tentu dari beberapa kubu saling merespons. Pro dan kontra tidak bisa dielakkan. Meskipun begitu, tetapi masih banyak masyarakat yang berterima kasih sambil mengirim banyak karangan bunga ke kantor Kemenko Polhukam.
Kembali ke riwayat perjalanan FPI, sejak 21 Juni 2019 secara hukum FPI sudah dibubarkan karena tidak mengantongi Surat Keterangan Terdaftar (SKT). Sedangkan yang dilakukan Menko Polhukam kemarin adalah sebuah penegasan ulang bahwa secara terbuka dan disaksikan masyarakat umum kalau FPI sudah resmi bubar.
Dikuatkan lagi dengan munculnya Maklumat Kapolri Nomor MAK/1/I/2021 pada tanggal 1 Januari 2021 tentang Kepatuhan Terhadap Pelarangan Kegiatan Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan FPI. Dari situ aparat kepolisian langsung bertindak menyisir dan mencopot tempat yang masih menggunakan atribut FPI.
Mengingat di tahun 2017 lalu. Hal serupa sempat terjadi pada organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Pada 19 Juli, HTI resmi dibubarkan melalui Kementerian Hukum dan HAM sebagai tindak lanjut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 2 tahun 2017 yang mengubah UU Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Sejarah mencatat bahwa saat pemerintahan Presiden Jokowi, sudah ada dua ormas Islam yang resmi dibubarkan. Hal tersebut melegitimasi bagaimana benteng kekuatan pemerintahan ala Presiden Jokowi. Kalau kita mengingat riwayat dua organisasi yang dibubarkan, mereka sama-sama berposisi sebagai oposisi dan berafiliasi Islam. Itu yang membuat nama Islam semakin di atas ambang pilu.
Apakah karena Islam agama mayoritas, sehingga segala gerakan selalu berhubungan dengan Islam. Kelompok atau organisasi memang cocok untuk mengakomodasi lingkaran ideologi dari orang-orang yang sepaham, kemudian merumuskan satu tujuan utama. Lalu ada lagi berbentuk sub organisasi yang berisi barisan kekecewaan pada satu kelompok kemudian membuat kelompok lagi. Secara psikologi sosial, itu lumrah terjadi di masyarakat.
Individu tidak bisa lepas dari pengaruh lingkungan sosial. Hubungan individu dengan lingkungan, bisa membentuk identitas sosial yang sepaham. Terutama orang-orang yang mempunyai pengaruh, identitas sosial tidak terlalu menjadi masalah. Ketika orang itu berniat ingin membuat kelompok baru dengan jaminan militansi identitas sosial, maka tak sedikit orang akan ikut dengannya.
Militansi identitas dalam sebuah organisasi memang sangat diperlukan. Selain untuk memperkuat basis organisasi, di samping itu berguna agar tujuan dan visi misi organisasi bisa tercapai. Banyak contoh yang menjelaskan fenomena semacam itu. Bagaimana orang bisa melakukan apa saja untuk organisasinya. Sama halnya seperti kejadian aksi terorisme beberapa tahun kemarin, bagaimana orang bisa dengan mudah melakukan bom bunuh diri, walau hanya diiming-imingi janji imajiner.
Mirra (2010) dalam penelitiannya mengenai psikologi para pelaku teror. Ia menemukan bahwa dalam kasus terorisme dan kekerasan politik, individu yang memilih jalan radikalisme dan bergabung dalam suatu kelompok radikal berarti menandakan jika segenap jiwa dan motivasi hidupnya sudah melebur dalam keutuhan kelompok. Motivasi individunya kalah dengan motivasi kelompok, sehingga itu yang membuat pikiran dan tingkah lakunya selalu merepresentasikan pikiran dan tingkah laku kelompok.
Meskipun FPI resmi dibubarkan, tetapi identitas ideologi pada masing-masing anggotanya tidak mungkin hilang begitu saja. Motivasi kolektif sebelumnya memengaruhi bagaimana anggota bisa terbangun militansi keorganisasiannya. Di samping itu kualitas identitas juga perlu ditimbang sebaik-baiknya. Yang bisa membangun kualitas identitas anggota adalah anggota itu sendiri melalui representasi identitas organisasinya dengan baik, tentu harus menimbulkan banyak manfaat kepada sesama.
Kalau soal representasi sosial pada sebuah identitas, Cris Barker sudah menjelaskannya secara gamblang, ia menghubungkan identitas sosial dengan tindakan manusia pada konteks sosialnya. Identitas sosial terdiri dari persamaan dan perbedaan. Soal apa yang dimiliki individu dan apa yang dimiliki bersama-sama. Untuk membangun relasi sosial, kedua unsur itu harus saling dipadu dan dijalankan.
Salah satu cara agar orang bisa melepas identitasnya adalah dengan cara ia mampu memunculkan motivasi diri yang lebih kuat lagi dari pada motivasi kelompok. Selama inisiatif itu tidak ada, maka selama itu pula identitas akan terus melekat. Meski secara organisasi tidak ada, tetapi bayang-bayang visi misi imajiner nama organisasi selalu membayang-bayangi semangat kolektif anggotanya.
Buktinya, setelah FPI bubar, muncul lagi FPI dengan nama baru. Mereka mentransformasikan namanya menjadi nama baru, yaitu Front Persatuan Islam. Identitas lama diubah ke identitas baru dengan dasar prinsip yang sama. Pemerintah perlu hati-hati dengan pasca pembubaran ini. Semangat kolektif mereka masih membara, motivasi mereka utuh dan yang paling penting adalah mereka berasal dari asal-usul yang sama, yakni barisan terpinggirkan.
Seperti yang diungkapkan George Simmel, bahwa kelompok-kelompok di mana seseorang individu berafiliasi merupakan titik tumpu yang kuat. Orang yang mencari afiliasi pada suatu kelompok, itu menandakan bahwa ia juga harus membangun kelompoknya. Apabila di dalamnya sama-sama saling mencari afiliasi atas dasar nama kelompok, maka ia akan terbentuk satu pemahaman untuk saling gotong royong membangun kelompoknya.
Jadi kemanfaatan kepada sesama tidak melulu dilakukan bersama. Nilai organisasi yang sudah menyublim di setiap anggota kelompok sangat berpeluang besar individu bisa mengamalkan nilai-nilai positivistik yang sudah dibangun dalam kelompoknya. Namun yang perlu diperhatikan adalah, asumsi publik saat ini sudah terbangun. Tinggal bagaimana ke depan FPI bisa mereformasi nilai ajarannya untuk menarik kembali hati masyarakat umum. Baik secara personal maupun komunal.
–
Penulis :
Ahmad Baharuddin Surya – Jurnalis Gresik Pos